POLISI NEWS | BITUNG. PT Futai Sulawesi Utara kembali menjadi sorotan setelah dugaan pencemaran lingkungan yang mereka lakukan muncul ke permukaan. Perusahaan ini dituduh membuang limbah pabrik ke aliran sungai Tanjung Merah, meskipun sudah beberapa kali diprotes oleh warga dan berjanji untuk memperbaiki pengelolaan limbah. Sayangnya, hingga kini persoalan tersebut belum terselesaikan, dan warga kembali menyuarakan keluhan mereka.
Warga yang melintasi jalan di depan pabrik mengeluhkan adanya debu yang menumpuk di badan jalan dan bertebaran di udara. Debu ini diduga berasal dari aktivitas kendaraan yang keluar masuk pabrik, menyebabkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan dampak kesehatan yang mungkin timbul. Selain itu, praktik pembuangan limbah yang tidak sesuai prosedur terus terjadi, menambah daftar panjang pelanggaran perusahaan tersebut.
PT Futai dilaporkan menggali lubang besar yang berfungsi sebagai penampungan limbah, yang disebut sebagai upaya untuk menghindari protes warga terkait pembuangan limbah ke sungai. Namun, lubang ini tidak dilapisi beton, sehingga limbah cair yang dibuang meresap langsung ke dalam tanah. Praktik ini dapat mencemari air tanah dan membahayakan lingkungan di sekitar pabrik.
Menurut peraturan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan diwajibkan untuk mengelola limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai standar yang ketat. Pembuangan limbah yang tidak memenuhi ketentuan atau tanpa izin yang sah bisa berujung pada sanksi berat, termasuk denda hingga pidana penjara.
Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 dengan jelas melarang pembuangan limbah yang mencemari lingkungan, dan setiap pelanggaran bisa dikenakan pidana maksimal 3 tahun atau denda hingga Rp 3 miliar. Selain itu, perusahaan yang menghasilkan limbah B3 wajib memiliki izin pengelolaan sesuai Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2014.
Sikap pasif Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bitung dan GAKKUM Sulawesi Utara atas dugaan pelanggaran ini menuai kritik tajam dari warga. Mereka menilai kedua lembaga tersebut gagal menjalankan fungsi mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan dan tidak memberikan langkah tegas yang diharapkan.Padahal, kedua lembaga ini memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa pelanggaran lingkungan seperti ini tidak terjadi dan ditindak sesuai hukum.
Mengacu pada Pasal 95 UU No. 32 Tahun 2009, masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengawasan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan hak ini, warga diharapkan untuk melaporkan segala bentuk pelanggaran agar bisa ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Namun, keterbatasan respons dari DLH dan GAKKUM membuat warga kehilangan kepercayaan, dan kini mendesak agar aparat hukum seperti kepolisian dan kejaksaan turun tangan.
Melihat lambannya respons dari DLH dan GAKKUM, warga kini mengalihkan harapan mereka kepada pihak kepolisian dan kejaksaan untuk segera menyelidiki dan menindaklanjuti kasus ini. Warga menegaskan bahwa tindakan hukum yang tegas diperlukan untuk menghentikan praktik pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh PT Futai. Selain untuk menghentikan pencemaran, langkah hukum ini diharapkan bisa memberikan efek jera bagi perusahaan dan pihak lain yang mungkin berniat melanggar aturan lingkungan.
Dengan mengingat dampak negatif dari pencemaran terhadap kesehatan dan kesejahteraan warga, masyarakat mendesak adanya tindakan yang nyata dan transparan dari penegak hukum. Harapan ini didasarkan pada kepentingan bersama untuk menjaga kelestarian lingkungan serta melindungi kesehatan masyarakat dari dampak buruk yang mungkin muncul di masa depan.
Warga menekankan bahwa tanpa penegakan hukum yang tegas, pencemaran lingkungan seperti ini hanya akan terus terulang. Mereka berharap, langkah konkret segera diambil oleh pihak berwenang agar masalah ini tidak terus berlarut-larut dan membahayakan kehidupan warga di sekitar pabrik.
Jurnalis | Nando