UU Produk Kemendikbudristek Mendapat Protes Dari Masyarakat

Nasional488 Dilihat

Oleh : Sudarman
Kepala SMP Negeri 1 Giri
Ketua Pengurus PGRI Kabupaten Banyuwangi

POLISI NEWS | BANYUWANGI. Regulasi UU Produk kemendikbudristek mendapat protes dari masyarakat. Regulasi yang terdiri dari 58 pasal ini diteken langsung oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim tanggal 31 Agustus 2021 dan diundangkan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang – undangan Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia pada tanggal 3 September dengan Lembaran Berita Negara nomer 1000 tahun 2021.

“Tidak ada pembelajaran tanpa rasa aman. Dan ini merupakan kenapa di dalam perguruan tinggi kita, kita harus mencapai suatu ideal yang lebih tinggi dari sisi perlindungan daripada masyarakat di dalam perguruan tinggi kita, baik itu dosen, mahasiswa, maupun semua tenaga kependidikan di dalam lingkungan kampus,” ujar Nadiem dalam acara Merdeka Belajar Episode14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, Jumat (12/11/2021).

Regulasi ini dinamakan Permendikbudritek nomer 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan kampus.

Walaupun dalam pasal 4 Permendikbudristek ini sasarannya adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan namun dalan huruf (e) disebutkan sasaran juga mengena pada masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tri dharma perguruan tinggi.

Pasal paling banyak mendapat sorotan masyarakat adalah pasal 5 ayat 2 huruf (b), huruf (f), huruf (g), huruf (h), huruf (l) dan huruf (m) yang mencantumkan kalimat tanpa persetujuan korban meskipun dalam ayat 3 disebutkan beberapa perkecualian antara lain, usia korban belum dewasa, pelaku memaksa, mengancam, menyalahgunakan kedudukanya, korban dalam pengaruh alkohol, korban rentan fisik dan psikologisnya, korban tonic immobility ( lumpuh sementara ) dan korban dalam kondisi terguncang.

Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas disampaikan bunyi pasal 5 ayat 2 huruf (b) sebagai berikut, ” Memperlihatkan alat kelaminya dengan sengaja tanpa persetujuan korban,” Secara tacid dalam pasal itu bisa dieksplisitkan pelaku boleh memperlihatkan alat kelaminnya jika mendapat persetujuan dari korban. Jika terjadi persetujuan antara pelaku dan korban maka masyarakat yang lain tidak bisa menilai itu melanggar norma karena mereka saling setuju. Dengan kata lain dalam hal ini tidak lagi yang namanya korban karena dia (korban) justru menyetujui.
Dalam praduga yang ekstrim mereka bisa saja merencanakan kong – kalikong demi popularitas sosialita di dunia maya.

Lebih ekstrim lagi pada pasal 5 ayat 2 huruf (l) bisa diterjemahkan pelaku boleh menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan /atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban asalkan mendapat persetujuan dari korban. Dan itu bukan kekerasan seksual atau tidak termasuk kekerasan seksual.

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. memohon kepada pemerintah melalui Kemendikbudristek agar melakukan merevisi terbatas regulasi tersebut khususnya pasal 5 pada frasa tanpa persetujuan korban dan melibatkan public dalam menerbitkan regulasi agar analisis kebijakan dan kajian akademiknya bisa diterima masyarakat luas. Unifah Rosyidi juga berpesan kepada para guru dan tenaga kependidikan khususnya anggota PGRI agar berhati – hati dan bijak dalam menggunakan media social. Beliau juga berpesan lebih cerdas mengunggah berita apalagi kalau ada kecelakaan korban apapun alasannya. Tidak menutup kemungkinan regulasi serupa akan muncul dan berlaku bagi sekolah -sekolah setelah Permendikbudristek nomer 30 tahun 2021 menjadi target sasaran di Perguruan Tinggi.

Dalam sesi yang berbeda plt Direktur Jenderal (Dirjen Dikti) Kemendikbudristek Nizam mengatakan, “Mohon Permendikbudristek nomer 30 tahun 2021 jangan ditafsirkan yang tidak sesuai tujuan. Belied ini khusus mengatur kekerasan seksual bukan di luar itu,” Katanya.

Bahkan Nizam mengatakan, bahwa regulasi tentang etika dan moral sudah banyak diatur dalam perundang-undangan yang lain. Permendikbud 30 tahun 2021 hanya memberikan payung hukum pada para mahasiswa yang mendapatkan perilaku kekerasan seksual dan tidak ada pijakan hukum untuk melapor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *