POLISI.NEWS | JEMBER. Dalam penanganan kasus narkoba terdapat 2 bagian yang selama ini banyak digeneralisasikan sehingga sama-sama dikondisikan sebagai target untuk dipenjarakan. Padahal jelas-jelas ada pihak sebagai korban yakni penyalahguna atau pecandu narkoba yang bisa menjadi demikian atas dasar kemauannya sendiri atau faktor keterpaksaan di bawah tekanan dan ancaman. Masuk dalam kategori korban karena mereka semata-mata hanya sebagai pemakai bukan sebagai pelaku bisnis barang haram tersebut.
Yang sering terjadi banyak korban narkoba justru dikriminalisasikan sehingga yang harusnya sesuai dengan ketentuan undang-undang harus menjalani rehabilitasi tapi malah dipenjarakan sebagaimana para penjahat narkoba. Mereka yang masuk kategori penjahat narkoba adalah para pelaku bisnis gelap narkoba baik sebagai kurir, pengedar ataupun bandar termasuk para oknum pejabat dan aparat yang menjadi backing bisnis haram tersebut.
Karena minimnya dasar pengetahuan hukum tipinar, maka banyak korban kriminalisasi korban narkoba itu ‘terhipnotis” modus para oknum aparat yang menjadikan mereka sebagai sapi perah. Maka dari itu bagi para pecandu narkoba agar segera menyerahkan diri untuk mengikuti program rehabilitasi hingga tuntas.
Penyalahguna secara yuridis adalah orang menggunakan narkotika atau menyalahgunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum (pasal 1/15), penyalah guna tersebut diatur hanya dalam satu pasal yaitu pasal 127/1.
Penyalah guna tersebut dapat dijatuhi hukuman rehabilitasi, bersifat wajib (pasal 103). Arti wajib disini, karena tidak ada pilihan bagi hakim untuk menjatuhkan jenis hukuman selain rehabilitasi, jika perkaranya terbukti sebagai penyalah guna, meskipun didakwa sebagai pengedar atau diyuntokan sebagai pengedar.
Memenjarakan penyalahguna narkotika disamping bertentangan dengan tujuan UU narkotika, juga tidak efektif karena menyebabkan terjadinya residivis penyalahgunaan narkotika, menghasilkan generasi tidak sehat (hasil evaluasi konvensi tunggal narkotika 1961) dan tidak efisien karena menghamburkan sumberdaya penegakan hukum (hasil penelitian Shapiro).
Secara yuridis UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, menyatakan bahwa perkara narkotika terdiri dari perkara penyalahgunaan narkotika pelakunya disebut penyalah guna dan perkara peredaran gelap narkotika pelakunya disebut pengedar.
Tujuan UU no 35 tanun 2008 tentang narkotika tersebut, terhadap peredaran gelap narkotika adalah memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (pasal 4c). Artinya yang diberantas adalah peredaran gelap narkotikanya.
Sedangkan tujuan terhadap penyalahgunaan narkotika adalah mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa indonesia dari penyalahgunaan narkotika (pasal 4b) dalam hal pemberantasannya, UU menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d). Artinya tujuan pemberantasan penyalahgunaan narkotika adalah merehabilitasi.
Perkara narkotika dapat dihukum rehabilitasi.l
Berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, perkara narkotika yang dapat dihukum rehabilitasi adalah perkara penyalahgunaan narkotika yaitu perkara kepemilikan narkotika yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi atau digunakan bagi diri sendiri. Penyalahguna narkotika diatur hanya dalam satu pasal, yaitu 127/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Demikian pula upaya paksanya, tidak memenenuhi sarat dilakukan penahanan, justru penegak hukum berdasarkan tujuan UU pasal 4d diberi kewenangan dan kewajiban menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaannya dengan biaya ditanggung pemerintah.
Bila terbukti bersalah, hakim wajib memutuskan dan menetapkan terdakwanya menjalani rehabilitasi, bila terbukti tidak bersalah hakim wajib menetapkan dan memerintahkan terdakwanya menjalani rehabilitasi.
Tidak ada pilihan bagi hakim yang mengadili perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalahguna narkotika untuk diri sendiri, selain menjatuhkan hukuman rehabilitasi atau menetapkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi.
Rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim adalah bentuk hukuman karena pasal 103/2 menyatakan masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
UU no 35 tahun 2009 secara khusus menyatakan bahwa rehabilitasi dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, diintegrasikan dengan rehabilitasi sosial mantan pecandu dlakukan dilembaga rehabilitasi yang diatur oleh Menteri Sosial.
Dalam PP no 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu, tempat menjalani rehabilitasi bagi penyalah guna atas keputusan atau penetapan hakim adalah IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yaitu pusat kesehatan masarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah.
Biaya rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim ditanggung oleh pemerintah (Peraturan Menteri Kesehatan no 2425/Menkes/per/XII/2011 pasal 20).
Menteri Kesehatan diberi mandat untuk mengkoordinasikan pelaksanan rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim (pasal 13/6 PP 25/2011) agar rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim terlaksana. Artinya secara yuridis penyalah guna narkotika jelas dikontruksi untuk dihukum menjalani rehabilitasi.
Apakah dalam proses peradilannya yang tidak fair sehingga penyalah guna yang nota bene pecandu yang memerlukan perawatan, lantas dihukum penjara.
Dampak dari menenjarakan penyalahguna adalah terjadi anomali hunian Lapas, dan permasalahan peredaran narkotika dalam lapas, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika yang menyengsarakan masarakat dan merugikan keuangan negara karena menguras sumberdaya penegakan hukum, last but not least masalah darurat narkotika di indonesia yaitu indonesia menjadi sasaran peredaran gelap narkotika yang tidak kunjung dapat diatasi.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, selamatkan penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.
SALAM SATU HATI
SALAM CINTA ANAK BANGSA
LAN KAB JEMBER