POLISI NEWS | NTT. Kehadiran wartawan dalam setiap peristiwa, terlepas itu suatu kejadian besar atau kecil, merupakan suatu keharusan demi menjaga netralitas dan memberikan informasi yang benar kepada publik. Namun, dalam beberapa kasus, ada beberapa oknum yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran wartawan.
Sebuah contoh terbaru terjadi pada tanggal 27 Nopember 2023, dimana terduga Kanit Polsek Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, Aiptu Aprianus Jeremias Tae diduga menghalang-halangi tugas wartawan saat diundang terlapor untuk turut hadir meliput undangan klarifikasi kasus penyerobotan tanah di Polsek Tasifeto Barat pada tanggal 27 November 2023 pukul 14.00 WITA. Wartawan diminta oleh terlapor Rafael Fahik untuk bisa turut mendampinginya dalam melakukan klarifikasi yang dilaporkan oleh Gabriel Moruk pada hari Kamis 23 Nopember 2023.
Namun, ketika wartawan tiba, Aiptu Aprianus langsung menginterogasinya dengan suara keras dan mengancam, “Kamu ini sapa, ayo berdiri lurus dan buka masker kamu, mana identitas kamu, kamu berani datang ke sini sapa yang undang?”
Tindakan Kanit Polsek Tasifeto Barat ini memicu kekhawatiran bahwa polisi memperlakukan wartawan dengan tidak menghargai. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyatakan bahwa seseorang yang dengan sengaja menghalangi wartawan menjalankan tugasnya dalam mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi dapat dikenakan pidana.
Beberapa wartawan dan aktivis melihat tindakan Kanit Polsek Tasifeto Barat ini sebagai bentuk penghinaan terhadap pers, yang akan mempunyai dampak pada kebebasan pers. Karena itu, hal ini harus menjadi pertimbangan yang serius bagi semua pihak, terutama mediator dalam sebuah kasus yang melibatkan hal-hal sensitif.
Penghalangan tugas wartawan saat melaksanakan tugas liputan, berita, dan reportase di lapangan merupakan kejadian umum di Indonesia. Saat ini, kebebasan pers di Indonesia memang mengalami peningkatan drastis. Survei yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memperlihatkan ada angka peningkatan intimidasi dan pelecehan terhadap jurnalis selama tahun 2023, yang jumlahnya saat ini sudah mencapai 43 kasus.
Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah dalam melindungi hak-hak wartawan. Wartawan sebagai garda terdepan dalam mengawal demokrasi serta menjaga kebebasan berbicara masyarakat, sehingga harus diberikan hak-hak dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Aprianus seharusnya memahami, bahwa wartawan adalah pihak yang berhak memperoleh informasi dan tidak dapat diintimidasi oleh siapa pun. Sebagai pihak yang berwenang, Aprianus sendiri harus memfasilitasi wartawan untuk mendapatkan informasi mengenai kasus yang sedang diliput.
Dalam kasus Aprianus, seseorang yang berada di kantor Polisi, seharusnya tidak menghalangi wartawan melakukan pengambilan berita. Apalagi, saat sedang menangani suatu kasus, candu media bisa jadi menjadi pelipur lara ketika kasus yang sedang di investigasi terlalu pelik dan memakan waktu yang cukup lama. Karena itulah, Aprianus mesti memposisikan wartawan sebagai rekan kerja dalam melindungi kepentingan publik dan kedaulatan negara.
Itulah sebabnya intervensi Aiptu Aprianus terhadap wartawan saat hendak melakukan liputan pada sebuah kasus penyerobotan tanah, sangat disayangkan dan tidak pantas terjadi. Kita semua berharap bahwa kasus ini dapat ditangani secara adil dan transparan, dan intervensi terhadap wartawan saat proses peliputan tidak akan kembali terjadi.
Kehadiran wartawan di lapangan hendaknya ditangani dengan baik dan dihargai, karena mereka merupakan elemen penting dalam memberikan informasi kepada publik. Kita semua harus selalu mengingat bahwa kebebasan pers dan hak atas informasi merupakan hak dasar manusia yang harus selalu dilindungi dan dijunjung tinggi.
Jurnalis | Roy Saba | Kaperwil NTT