Oleh : Muhammad Syarifudin Al Tumariti
Tetesan darah yang jatuh dimuka ibu Pertiwi adalah sebuah gugurnya detak jantung sang ksatria yang membela tanah airnya.
Jerit, tangis, sakit dan ketakutan, bergema takbir membusungkan dada menjadi prisai letupan senapan lawan. Hal ini tidak kita rasakan betapa gagahnya mereka, betapa hebatnya mereka, betapa besar perjuangan mereka yang selalu bersatu demi negri ini.
Demi ibu Pertiwi. demi kelak anak cucu. Mungkin jika nenekmu dahulu bukanlah pejuang negri ini, bukanlah yang pernah sakit berteriak, menangis, ketakutan, bertakbir di atas negeri ini, maka kau, aku dan kita berdiri di atas jasa pahlawan.
Negeri yang ditebus dengan darah dan nyawa, negeri yang dibayar dengan perjuangan dan doa terkadang mendapatkan kendala besar adalah sebab dari sang penghianat bangsa sendiri.
Wahai para yang mengaku penguasa negeri yang bangga akan dasimu sendiri, yang bangga kau mampu duduk dikursi sebab kau merasa karena kehebatan diri. Wahai para pemimpin negri ini, yang sibuk mengatur jadwal di luar pasti, tak peduli siapa kaki lemah bergetar tak beralas berdiri di atas duka ibu Pertiwi. Duduk mu dikursi negri ini tak kau tebus dengan darah dan air mata, bahkan mungkin jika negeri ini membutuhkan nyawa mu kau sanggup ?
Jangan kau ribut di atas singgasana yang berkata semua demi kami.
Ini negri kita yang dahulu tak akan mampu berdiri tegak menatap sang pusaka merah putih dengan penghormatan penuh bakti, sebab kala itu hal ini harus berguguran para pahlawan kami.
Wahai para yang mengaku pemilik negri, hidup ini kelak akan mati dan berakhir, tapi perjuangan mu atas nama Illahi pasti selau dihormati dan terpatri dihati.
Di tanah sama kita berdiri…
Pada air yang sama kita bersihkan diri…
Karna kita terlahir di bumi Pertiwi…
Maka jangan khianati negri ini…
Damai lah bangsa ku…
Damai lah negri ku…
Ini Indonesia ku dan Indonesia mu…
MERDEKA 17 Agustus 1945 dan 17 Agustus 2021