PONTIANAK I POLISI NEWS. Jika diibaratkan dengan umur manusia. Maka, umur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menginjak umur yang sudah senja. Kerentanan dalam pelbagai aspek barangkali akan terus menghambat pola perjuangan yang terus diemban. Mulai dari sisi ideologis yang sudah mulai lupa ingatan, kesehatan dinamika yang terjadi di dalam, hingga persoalan pudarnya jati diri dan usaha mencapai tujuan.
Sebagaimana cita-cita pendirinya sejak awal, bahwa HMI yang lahir pada tanggal 05 Februari 1947 memikul dua beban suci. Pertama, mempertahankan kemerdekaan dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia. Kedua, Mengembangkan dan menyebarluaskan ajaran Islam. Dua beban suci di atas termaktub rapi dalam tubuh HMI seperti yang dikenal dengan komitmen Keislaman dan kebangsaan.
Namun, dari kedua komitmen tersebut terjadi ketimpangan yang cukup signifikan khususnya dalam ranah keislaman. Ketidakseimbangan antara nilai-nilai Keislaman dan Kebangsaan membuat HMI seolah kehilangan khittah perjuangannya. Sehingga dinamika yang tidak sehat akibat pola pikir pragmatis membuat para kader HMI cenderung mengejar kekuasaan semu. Wajar jika intrik politik sangat kuat dari tingkat Pengurus Besar hingga Cabang. Bahkan dualisme di tubuh HMI belum benar-benar selesai hingga detik ini!. Jika dirunut lebih jauh, problem ini diakibatkan hilangnya peran para kader HMI dalam mengamalkan Islam sebagai Ideologi.
Transformasi Perjuangan
Di tengah hiruk pikuk dinamika perpolitikan yang sudah semakin tidak bermoral. HMI tidak hanya dituntut untuk peka dan terus menjaga nalar independensinya demi menjaga keutuhan bangsa. Akan tetapi juga mesti berputar beberapa derajat melihat kaum-kaum menengah ke bawah yang menjadi korban dinamika perpolitikan tersebut. Jika biasanya hanya sebatas menyuarakan dan berusaha menengahi perselisihan.
HMI dewasa ini sudah bukan waktunya terjerumus dan ikut berenang dalam sistem itu. Maka, gaung dari HMI ke depan harusnya bukan lagi tentang membuat perubahan melainkan peradaban. Bicara peradaban berarti bicara tentang seluruh aspek kehidupan manusia baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya maupun iptek), yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.
Dari ratusan cabang dan puluhan badko yang tersebar di seantero Indonesia. Mereka rata-rata memiliki bangunan pribadi sebagai simbol rumah perjuangan. Bahkan tidak sedikit yang dilengkapi dengan berdirinya masjid. Hal inilah yang sebetulnya menjadi modal awal untuk memulai langkah menciptakan peradaban. HMI harusnya meneladani bagaimana pola Nabi Muhammad SAW dalam memulai membangun peradaban Islam. Nabi memulai semuanya dari masjid sebagai pusat dari lahirnya peradaban dimaksud. Selain itu, beliau menjadikan masjid sebagai pusat kaderisasi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Sejauh ini beberapa cabang telah memiliki masjid sekaligus sekretariat permanen. Hanya saja pengoptimalan fungsinya yang masih belum terwujud. Akhirnya, masjid dijadikan sebagai tempat ibadah saja. Padahal seharusnya masjid sebagai tempat lahan kaderisasi, membangun ekonomi, bahkan melahirkan Pesantren. Sangat menarik bukan jika HMI memiliki semacam Pesantren atau Lembaga Pendidikan lain sebagai lading amal dari para kader hingga alumni.
Lihat saja bagaimana masjid-masjid yang ada di Pesantren. Masjid itulah yang pertama kali terbangun sebelum kemudian melahirkan pendidikan pesantren. Oleh karena itu, pola HMI mesti juga mengarah pada pengoptimalan masjid. Artinya memoles masjid sedemikian rupa agar tidak hanya dijadikan tempat ibadah, namun lainnya. Jika demikian itu terjadi, dakwah dan Islam Madzhab HMI akan sedikit demi sedikit merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat.
Mengokohkan Keislaman
Sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar HMI pasal 3 tentang azas, bahwa “HMI berazaskan Islam”. Maksudnya adalah implementasi nilai-nilai Islam sebagai sumber tata nilai, sumber inspirasi, dan sumber dari segala perjuangan HMI sebagaimana cita-cita awal didirikannya.
Ajaran Islam menjadi patokan HMI dalam melakukan amal-amal sosial demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt. HMI memposisikan Islam sebagai sumber energi perubahan mengaruskan para penganutnya untuk melakukan inovasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obvektivitas. Yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam, bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan makin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, sehingga pemilihan Islam sebagai asas merupakan pilihan sadar, dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Maka dengan demikian, mengokohkan komitmen Keislaman bukan hanya sekadar menjalankan kewajiban saja, namun bagaimana menjadikan Islam sebagai doktrin yang mengarah kepada perubahan untuk peradaban secara integralistik, transedental, humanitas, dan inklusif. Karena di atas perubahan adalah peradaban dan puncak dari peradaban adalah baldatun Tayyibatun Warabbun Ghafur.
Refleksi 74 Tahun HMI
Melihat kondisi umat dan bangsa detik ini. Refleksi 74 tahun HMI perlu merumuskan target dan tujuan yang jelas melihat perubahan sosial yang begitu cepat. Target tersebut bermuara terwujudnya masyarakat adil makmur sebagaimana poin ke-lima dari lima kualitas insan cita HMI di pasal 4 AD HMI.
Untuk mewujudkan itu perlu adanya kekokohan dan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi atau kebangsaan dan keislaman. Perubahan bukan lagi target utama melainkan peradaban. Membangun peradaban itu dimulai dari masjid yang kemudian nantinya akan melahirkan manfaat yang luar biasa. Seperti Baitul Maal, pasar, pendidikan, pesantren, dan lain sebagainya.
Peradaban sebagaimana dimaksud secara langsung akan menjaga sumber mata air perkaderan, terlebih saat ini telah digagasnya oleh KAHMI Universitas Insan Cita. Bayangkan jika misalnya HMI memiliki masjid yang optimal, kemudian lahir di sana pesantren mahasiswa islam yang sistem pendidikannya ala-ala HMI, Baitul Maal yang nantinya bermanfaat untuk umat Islam dan juga menjadi dana abadi perkaderan.
Dengan demikian, mencapai tujuan HMI akan lebih cepat terwujud dalam diri setiap kader HMI itu sendiri. Segala harapan-harapan di atas semuanya akan mudah apabila para kader HMI tidak hanya melulu fokus pada dunia perpolitikan. Selain itu, perlu bagi alumni HMI yang tergabung dalam wadah KAHMI untuk senantiasa mendukung melalui penyediaan fasilitas yang dibutuhkan, sehingga merealisasikan peradaban ala HMI sebagaimana dimaksud bukan lagi terhenti dalam angan-angan. Wallahu a’lam Bisshowab.
Tulisan Gus Hefni Maulana