POLISI NEWS | ACEH TIMUR. Pemerhati sosial, Dedi Saputra, menyoroti keberlangsungan 18 perkara yang dapat diselesaikan melalui Qanun Gampong di Aceh. Ia menilai, implementasi Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang penyelesaian sengketa adat di tingkat desa semakin tidak efektif dan berpotensi mati suri.Rabu2/4)2025.
Dedi mempertanyakan pihak yang bertanggung jawab dalam mempertahankan dan mengawasi pelaksanaan 18 perkara yang semestinya dapat diselesaikan melalui mekanisme adat di gampong. Menurutnya, lemahnya implementasi qanun ini berdampak pada meningkatnya jumlah warga Aceh yang menjalani hukuman penjara.
“Kita melihat banyaknya warga yang masuk penjara di Aceh, padahal mekanisme Restorative Justice (RJ) dan 18 perkara qanun gampong ini masih ada. Dari pemberitaan media, tahun ini saja lebih dari 7.000 warga Aceh merayakan Lebaran di penjara, termasuk 43 anak-anak. Ini menjadi tanda tanya besar,” ungkap Dedi.
Adapun 18 perkara yang seharusnya dapat diselesaikan di tingkat gampong meliputi:
– Perselisihan dalam rumah tangga
– Sengketa keluarga terkait faraidh (warisan)
– Perselisihan antar warga
– Khalwat (mesum)
– Perselisihan tentang hak milik
– Pencurian dalam keluarga (pencurian° ringan)
-Perselisihan harta sehareukat
– Pencurian ringan
– Pencurian ternak peliharaan
– Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan
– Persengketaan di laut
– Persengketaan di pasar-
– Penganiayaan ringan
– Pembakaran hutan dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat
– Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik
– Pencemaran lingkungan (skala ringan)
– Ancaman (tergantung dari jenis ancaman)
– Perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat
Hendrika Saputra, seorang pemerhati sosial dan pemerhati 18 perkara Gampong Aceh , menambahkan bahwa keberadaan qanun ini harus dijaga agar tidak hilang di Aceh.
“Kita sangat menyesali kondisi saat ini. 18 perkara qanun gampong seharusnya tetap dijalankan dan tidak boleh hilang. Pemerintah dan lembaga terkait harus bertindak untuk menghidupkan kembali sistem penyelesaian adat ini,” ujar Hendrika.
Pemerhati sosial dan pegiat hukum adat mendesak agar dinas terkait serta lembaga pemerintahan di Aceh segera mengambil langkah untuk mengawasi dan memperkuat pelaksanaan Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008. Jika tidak, maka sistem penyelesaian sengketa adat yang telah menjadi bagian dari kearifan lokal Aceh berisiko punah.
Jurnalis | Khairul